Opini

Sun Tangan dan Tangan-Tangan Lainnya: Tentang Adab yang Diam-Diam Lebih Mulia

Sun Tangan dan Tangan-Tangan Lainnya: Tentang Adab yang Diam-Diam Lebih Mulia
Fajar Santika (DPanji/penulis). (Matakanan.com)

Matakanan.com - Di negeri ini, mencium tangan orang tua adalah simbol sopan santun. Sun tangan pada orang tua, guru, kyai, bahkan pejabat, dianggap sebagai bentuk penghormatan—warisan adab leluhur.

Di Sunda, kita diajarkan: “leuwih hade ngajenan batur, tibatan ngaringkuk jadi sombong.”

Tapi entah kenapa, makin ke sini, adab ini mulai jadi bahan olok-olok. Ada yang bilang itu cuma simbol kepatuhan, simbol feodalisme. Padahal, sun tangan tak pernah salah. Yang salah itu tangan yang disun, tapi ternyata dipakai menilep uang rakyat.

Tapi tunggu dulu. Jangan buru-buru menuduh semua yang hormat itu penjilat. Karena kadang yang tidak hormat pun bukan berarti lebih mulia.

Kita sekarang hidup di zaman aneh. Ada orang-orang yang menolak sun tangan, menolak tunduk, menolak “basah-basih”—katanya demi idealisme dan melawan ketidakadilan.

Tapi ternyata, di belakang, mereka mondar-mandir bawa proposal, minta jatah proyek, atau “berjuang” di medsos sambil berharap transferan.

“Teriaknya keras: anti-korupsi! Tapi faskes anaknya masuk di barisan titipan.”

“Kritiknya tajam ke pejabat. Tapi saban bulan, tanya: ‘ada dana ngga buat kegiatan kami?’”

Lebih menyedihkan lagi, kadang yang sok keras itu membenci adab. Menganggap mencium tangan pejabat itu najis. Tapi diam-diam, tangannya juga ikut rebutan amplop. Yang membedakan hanya gayanya: satu pakai jas, satu pakai jaket lusuh—tapi ujungnya tetap minta bagian.

Adab tidak selalu berarti tunduk. Tapi menghormati bukan berarti menyerah. Dan sun tangan bukan berarti kita setuju pada kesalahan.

Bisa jadi, orang yang mencium tangan pejabat justru lebih tahu diri dan tidak merasa lebih suci. Tidak merasa perlu berpura-pura keras hanya untuk dapat tempat di foto rapat.

Analogi sederhananya begini:

“Ada dua orang masuk ke rumah. Satu mengetuk, memberi salam, mencium tangan tuan rumah.

Satu lagi menerobos pagar, teriak-teriak bilang tuan rumah maling. Tapi pas masuk, dua-duanya sama-sama bawa kantong belanja.”

Pertanyaannya: siapa yang lebih beradab?

Jadi, bukan soal sun tangan atau tidak.Bukan soal kritik atau diam.Tapi soal kejujuran dan konsistensi.

Kalau kamu keras, jangan korup.Kalau kamu hormat, jangan bodoh. Kalau kamu pegang idealisme, jangan diam-diam jadi makelar anggaran.

Karena pada akhirnya, lebih mulia mencium tangan dengan adab, daripada mencium uang dengan nafsu. (*)

0 Komentar :

Belum ada komentar.