Matakanan.com - “Dulu demokrasi diperjuangkan, sekarang dijual kiloan.”
Dulu, 1999. Tahun yang katanya penuh euforia. Orang antre di TPS bukan karena uang, tapi karena harapan. Harapan akan perubahan. Harapan bahwa darah yang tumpah di jalanan, nyawa yang melayang, tidak sia-sia. Reformasi jadi mantra. Demokrasi jadi primadona.
Lalu apa yang kita dapat?
Ternyata, setelah pesta usai, pengantin kita bukan bidadari, tapi jelmaan politik dagang sapi. Transaksi kiri-kanan. Pokoknya, siapa kuat modal, dia yang dapat panggung. Siapa bisa bayar, dia yang duduk manis.
Publik kecewa? Sudah pasti.
Dan, seperti biasa, ketika janji tak ditepati, rakyat pun balas dendam dengan cara mereka sendiri: “Ambil uangnya, jangan pilih orangnya!”
Slogan ini melegenda. Diserukan, didaur ulang, jadi semacam pembenaran. Ironisnya, siapa yang dulu ngajarin politik uang? Politisi itu sendiri. Karena mereka miskin ide, gagasan tak ada. Akhirnya yang dijual cuma satu: amplop.
Politisi Miskin Ide, Rakyat Kebanjiran Amplop
Sekarang, kita panen kebiasaan buruk itu.
Parpol gagal mendidik. Alih-alih jadi sekolah politik, partai lebih mirip travel biro menuju kekuasaan. Murah? Enggak. Biayanya tinggi, dan semua harus balik modal. Publik pun ikut salah kaprah. Demokrasi yang dulu dielu-elukan, sekarang dicaci maki. “Ini semua salah demokrasi!”
Padahal bukan salah sistem. Salah kita semua—kolektif. Politisi yang tak memberi teladan, publik yang gampang silau.
Masih Ada Harapan (Sedikit)
Tapi, apakah semua gelap?
Enggak juga. Ada sedikit cahaya, katanya. Lihat KDM (sebut saja begitu). Dia membuktikan, politik tak harus mahal. Tidak perlu baliho setinggi Monas, tak harus pesta hiburan berlapis bintang. Cukup merakyat, hadir setiap hari, dan bicara seperlunya. Meski belum sepenuhnya “politik gagasan”, setidaknya ini lebih waras daripada jualan amplop.
Biaya bisa ditekan, kok. Tinggal mau atau tidak.
Karena rakyat sekarang cuma butuh tawaran kongkrit. Bukan janji 100 halaman, tapi aksi yang terasa. Contohnya? MBG (Makan Bergizi Gratis) yang ditawarkan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.
Sederhana, jelas, langsung dirasakan dampaknya. Hasilnya? Elektabilitas mereka melesat. Itu bukti, rakyat bukan anti gagasan, asal gagasan itu realistis dan menyentuh kebutuhan dasar.
Apa Pelajaran 25 Tahun Reformasi?
Bahwa demokrasi bukan untuk dijadikan kambing hitam. Yang gagal bukan sistemnya, tapi kita—baik politisi maupun publik—yang malas belajar dan gampang tergoda.
Kalau mau berubah, jangan cuma ganti baju saat kampanye. Ubah mindset. Berhenti jadi pedagang sapi politik. Karena kalau terus begini, rakyat akan terus main “ambil uangnya, jangan pilih orangnya”. Dan demokrasi kita? Ya tetap jadi komedi tragis.
“Masalahnya bukan di demokrasi, tapi di kita yang malas belajar dan kebanyakan amplop.”
“Kalau politik terus jadi dagang sapi, rakyat akan terus jadi pembeli yang pintar nawar.”
“Reformasi berjuang dengan darah, politik kita dijual dengan receh.” (*)
0 Komentar :
Belum ada komentar.