Matakanan.com - Keluarga, katanya, adalah tempat paling aman di dunia. Tapi kadang, justru dari situ datang rasa paling menyakitkan. Bukan karena tamparan, tapi karena tusukan halus dari balik punggung—yang sayangnya datang dari mereka yang menyebut diri: “saudara.”
Ya, saudara. Tapi model yang satu ini agak beda: maunya enak sendiri, kerjaan lempar sana-sini, lalu tampil seolah-olah paling peduli.
Saudara atau Bos Besar?
Ada spesies saudara yang hobi memposisikan diri sebagai korban hidup. Dia akan menghindari semua tanggung jawab, tapi paling lantang dalam protes. Kerja? Nggak mau. Komitmen? Ah, terlalu berat. Tapi soal mengatur orang lain—wah, juara.
Model begini pandai membuat kamu merasa bersalah, bahkan saat kamu cuma mencoba mempertahankan kewarasan.
Kalau Salah, Jangan Ngaku. Fitnah Lebih Efektif
Mengakui kesalahan adalah tindakan yang mulia—makanya mereka menghindarinya. Mereka lebih memilih teknik kuno tapi manjur: menyebar cerita sepihak. Mereka membingkai narasi. Membalikkan fakta. Dan hebatnya, kadang berhasil.
Karena, siapa yang akan curiga pada wajah manis yang rajin mengutip dalil di grup keluarga?
Saudara Tapi Racun: Evolusi Baru dalam Dunia Emosional
Kita tumbuh besar berpikir bahwa saudara akan menjadi penopang. Tapi ternyata, sebagian hanya penumpang—dan kadang jadi penyabot. Mereka datang kalau butuh, menghilang saat diminta bantu. Mereka hadir saat pesta, lenyap saat bencana. Tapi herannya, mereka tetap merasa punya hak paling besar atas segalanya.
Dan ketika kamu mulai menjaga jarak? Kamu yang salah. Kamu dibilang sombong. Kamu dibilang lupa darah. Padahal kamu cuma lagi berusaha sembuh dari luka yang mereka tanam.
Tumbal, Tapi Tetap Dimaki
Ada kalanya kamu sudah berkorban banyak, tapi tetap saja dicibir. Kamu jadi tumbal: waktu, tenaga, pikiran, bahkan harga diri. Tapi balasannya? Dianggap tidak cukup berbakti. Diserang karena "berubah." Dicemooh karena memilih diam.
Kadang kamu ingin teriak,
"Maaf, aku saudaramu. Bukan pelayan pribadimu!"
Tapi kamu tahu, percuma. Mereka terlalu sibuk merasa benar.
Akhir Kata: Saudara Itu Tak Selalu Setara
Kita tak bisa memilih siapa saudara kita. Tapi kita bisa memilih cara menjaga waras di tengah mereka. Kadang, menjaga jarak bukan karena benci, tapi karena terlalu sering disakiti. Diam bukan berarti kalah. Tapi karena lelah berperang melawan orang yang seharusnya berdiri di sisi kita.
Dan kalau suatu hari kamu merasa sendirian di tengah keluargamu sendiri, ingatlah:
Bertahan di tengah saudara yang tak tahu diri, juga bentuk perjuangan yang patut dihargai. (*)
0 Komentar :
Belum ada komentar.