Matakanan.com - Di tengah riuhnya musik modern yang makin kehilangan akar, Karinding Attack datang seperti hantaman dari bumi yang berteriak. Mereka bukan nostalgia. Mereka bukan komunitas senyum-senyum yang memainkan alat tradisi hanya untuk sekadar “melestarikan.” Mereka pasukan suara. Mereka geger bambu. Mereka adalah Karinding Attack, serangan budaya dari perut tanah Sunda yang menyusup ke panggung-panggung metal dan mengguncang dengan suara purba.
Karinding—alat mungil dari bambu atau pelepah aren—dulu dimainkan untuk mengusir hama di sawah. Sekarang, di tangan Karinding Attack, ia jadi senjata sonik paling liar yang pernah dimainkan di dunia musik bawah tanah. Dari satu nada, mereka bangun dunia. Dari satu hembusan, mereka ciptakan ledakan.
Personel Karinding Attack bukan sekadar musisi. Mereka penjaga frekuensi tanah. Formasi terbaru mereka adalah:
- Ki Amenk: Karinding
- Wisnu: Karinding
- Man Jasad: Karinding & vokal
- Henri Ekek: Suling
- Abah Andris: Celempung
- Hendra: Celempung
- Papay: Celempung Renteng
- Okid: Go’ong Tiup
Mereka datang dari berbagai latar. Dari metal ekstrem, dari punk keras kepala, dari hutan celempung, dari tiupan go’ong yang mistis. Mereka bukan memainkan musik. Mereka menggetarkan tulang.
“Sunda itu bukan cuma angklung yang ditabuh pas karnaval sekolah. Sunda juga bisa ngamuk,” tegas Man Jasad, sang vokalis yang juga dikenal sebagai frontman band death metal Jasad. Ketika ia meniup karinding dan melontarkan vokal penuh amarah, tidak ada lagi jarak antara yang tradisional dan yang brutal.
Karinding Attack tidak datang untuk tampil lucu di sela-sela festival seni. Mereka datang untuk menampar dunia. Untuk bilang bahwa budaya lokal bukan hiasan. Ia bisa menjadi peluru. Ia bisa mengguncang. “Musik kami bukan untuk sekadar enak didengar. Musik kami untuk membangunkan yang tertidur,” ujar Ki Amenk, salah satu pilar paling awal dari gerakan ini.
Dari lantunan suling Henri Ekek yang membawa napas angin gunung, hingga dentuman celempung dari Abah Andris dan Hendra, dari go’ong tiup Okid yang seolah membuka dimensi gaib, hingga gebukan celempung renteng Papay yang menghentak seperti jantung tanah yang marah—semuanya jadi satu ritual sonik. Ini bukan pertunjukan. Ini pemanggilan.
Mereka pernah menggebrak panggung bareng band-band besar seperti Burgerkill, dan tetap teguh dengan satu prinsip: akar harus tetap ditancapkan kuat, meski petir menyambar dari segala arah. Mereka tak menjual tradisi, tapi memperjuangkannya. Mereka bukan membangun nostalgia, tapi menyulut revolusi bunyi.
“Bambu itu sederhana. Tapi kalau ditiup dengan benar, bisa membelah ruang,” ucap Wisnu, pemain karinding yang bermain tanpa kompromi, menggetarkan udara dengan ketukan paling liar dari instrumen yang katanya ‘tak bisa ngapa-ngapain’.
Karinding Attack adalah bukti bahwa satu nada bisa cukup untuk meledakkan kesadaran. Bahwa musik Sunda tidak harus dibingkai rapi di atas panggung formal. Ia bisa beringas. Ia bisa liar. Ia bisa berdarah.
Mereka pernah kehilangan personel, pernah ganti formasi. Tapi satu hal tidak berubah: semangat untuk menjadikan karinding sebagai suara zaman. Suara dari bawah. Suara dari bambu. Suara dari tanah yang sudah lama diam.
Ini bukan hiburan. Ini bukan estetika. Ini perlawanan. Dan Karinding Attack adalah pelurunya.
Karinding Attack bukan sekadar band. Mereka ledakan bambu dari jantung bumi Sunda. Hayu, ngarinding bareng. Tapi kali ini, pikeun ngageroan, henteu keur ngalamun. (*)
0 Komentar :
Belum ada komentar.