Matakanan.com - Di tengah keramaian musik modern yang makin tenggelam dalam pola dan algoritma, Karinding Attack muncul sebagai hantaman dari masa lalu yang masih berdarah.
Mereka tidak hanya memainkan alat musik tradisional, tapi menghempaskannya ke wajah zaman. Karinding—alat mungil dari bambu atau pelepah aren—yang dulu dimainkan di sawah untuk mengusir hama, kini jadi senjata sonik paling purba yang menghantam keras skena musik cadas.
Karinding Attack tidak main-main. Mereka bukan nostalgia, bukan proyek etnik santai yang hanya laku saat 17 Agustusan. Mereka adalah perlawanan budaya yang menyala, dan panggung adalah medan tempurnya.
Para personelnya adalah campuran darah panas dari dunia metal, punk, noise, dan aktivisme budaya: Mang Engkus, Mang Utun, Man Jasad, Ki Amenk, Kimung, Okid, Wisnu, Hendra, Gustaff, Iman Zimbot, Ranti, Gustavo, Kimo, Diki, Kiki, hingga Ari.
“Karinding itu bukan barang museum. Ini alat hidup. Napas. Frekuensi. Ini suara tanah Sunda yang udah terlalu lama dibungkam,” tegas Kimung, eks bassist Burgerkill yang kini menjadi otak dan jantung pemikiran KA.
Dalam setiap penampilan mereka, suara karinding yang hanya bisa memainkan satu nada—F ya F, G ya G—dibalut dentuman metal dan atmosfer ritualistik yang menghentak.
Tapi jangan salah. Batas nada tak mengurangi kekuatannya. Justru di sanalah kejujuran karinding bernafas. Tak bisa dibohongi, tak bisa dimanipulasi.
“Kami enggak niat bikin tren. Kami niat bikin geger,” kata Man Jasad, yang juga dikenal sebagai frontman band brutal death metal Jasad. Di KA, ia meniup karinding dengan energi yang sama seperti saat ber-growl di atas panggung metal. “Musik Sunda bukan cuma bisa ngageugeuh (berdendang). Bisa ngagebrus (menghantam), asal kita tahu caranya.”
Di balik suara khas yang menggema dari bambu, ada kerja keras, ada pembacaan budaya, ada semangat membongkar cara pandang umum.
Mereka datang bukan untuk memamerkan keunikan alat musik tradisional. Mereka datang untuk merobek batas antara yang lama dan yang baru, antara desa dan kota, antara purba dan futuristik.
“Kami enggak peduli disebut aneh, disebut nggak laku. Asal orang denger dan merinding. Karinding Attack bukan buat jualan, ini buat nyadarkan,” ungkap Iman Zimbot, pemain toleat dan suling, yang jadi salah satu suara paling magis dalam format live KA.
Dari gang-gang sempit di Bandung sampai festival-festival cadas, Karinding Attack terus bergerak. Mereka pernah tampil bersama Burgerkill, Taring, bahkan berdampingan dengan band-band metal ekstrem lain, dan tetap membawa karinding sebagai senjata utama. Bukan gimmick. Bukan aksesori. Tapi esensi.
Karinding Attack tidak menawarkan musik mudah. Mereka menghadirkan benturan.
Mereka ajak kita berdialog dengan diri sendiri, budaya sendiri, tanah sendiri. Di antara kebisingan global, mereka adalah bunyi minor dari akar yang menolak dipangkas.
Karinding Attack bukan sekadar memainkan bambu, mereka meniupkan ingatan, menyuarakan luka, dan meneriakkan keberanian untuk berdiri di tengah dunia yang semakin kehilangan arah.
“Sunda itu bukan cuma angklung dan calung. Sunda juga bisa ngamuk,” kata Wisnu Jawis, sambil mengepalkan tangan.
Dan mereka membuktikannya. Lewat satu nada. Lewat satu napas. Lewat karinding.
Hayu urang ngarinding bareng. Tapi kali ini, bukan untuk tenang. Tapi untuk meledak. (*)
0 Komentar :
Belum ada komentar.