Matakanan.com - Di suatu masa, dalam dunia penuh keajaiban dan absensi logika realistis, hiduplah seekor kucing robot biru dari abad ke-22 bernama Doraemon. Ia datang untuk membantu bocah bernama Nobita—lamban, malas, suka ngeluh, dan bergantung pada teknologi masa depan. Hmm... kedengarannya familiar ya? Seolah kita sedang membicarakan sebagian besar aktor sosial-politik kita hari ini.
Doraemon selalu muncul dari laci meja—tempat persembunyian yang nyaman dari tanggung jawab hidup. Mirip elite negeri ini yang suka muncul saat kamera menyala dan menghilang ketika rakyat menderita. Tapi mari kita fokus pada kantong ajaib Doraemon: gudang solusi instan tanpa kerja keras, mirip janji-janji kampanye yang bisa mengubah nasib asal percaya dan jangan tanya caranya.
Kantong Ajaib = APBN Ajaib?
Bayangkan jika Indonesia punya kantong ajaib seperti Doraemon. Mungkin pemerintah tinggal menarik "Alat Penyelesaian Banjir", "Permen Pendidikan Gratis", atau "Kacamata Anti-Korupsi". Tak perlu program lima tahunan, tak perlu evaluasi, tinggal colok dan dor!, rakyat bahagia.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kita seperti Nobita: terlalu lama bergantung pada figur “penyelamat”, tak pernah belajar menghadapi kenyataan, dan selalu berharap ada seseorang (atau sesuatu) yang membereskan segalanya. Kita tak butuh reformasi—kita cuma butuh Doraemon.
Nobita adalah Kita Semua?
Nobita bukan cuma satu orang. Ia adalah gambaran kolektif dari bangsa yang terlalu asyik menunggu bantuan. Saat harga pangan naik, kita bukan bertanya “mengapa sistem distribusi tak efisien?”, tapi lebih memilih berharap: “Semoga ada bansos.” Ketika kualitas pendidikan memburuk, bukan merombak kurikulum atau memperkuat guru, tapi lebih memilih membagikan “Tablet Pintar” dari kantong proyek digital.
Ironisnya, kita tahu Nobita tak pernah jadi lebih baik. Tapi kita masih menaruh harapan padanya.
Shizuka, Giant, dan Suneo: Siapa Mereka?
Shizuka, si gadis manis yang sering dimanfaatkan sebagai simbol harapan dan cita-cita masa depan. Dalam konteks kita, ia adalah cita-cita pembangunan yang selalu disebut namun tak pernah benar-benar digapai. Giant dan Suneo? Yang satu gemar pamer kekuatan dan membungkam yang lemah, yang satu lagi hobi pamer kekayaan dari warisan orang tua. Hmm... mirip pejabat dan pebisnis yang kita tahu?
Doraemon di Tengah Pemilu
Menjelang pemilu, Doraemon selalu muncul. Bukan dalam bentuk kucing biru, tapi dalam bentuk baliho raksasa, kaus gratis, minyak goreng, atau undangan makan-makan. Semua dari kantong yang katanya ajaib, tapi ternyata berasal dari pajak kita sendiri. Tapi seperti Nobita, kita selalu tak sadar: kita yang membayar alat-alat ajaib itu, lalu mengucap “terima kasih” karena merasa dibantu.
Akhir Cerita?
Di akhir tiap episode, Nobita tetaplah Nobita. Doraemon hanya memberi alat, bukan kesadaran. Dan mungkin inilah satire terbesar dari serial itu: kalau bangsa ini terus menolak dewasa dan hanya berharap solusi instan, maka kita akan selamanya jadi Nobita—dalam versi negara.
Tanpa kerja keras, tanpa akal sehat, tanpa kejujuran—apa pun alatnya, seajaib apa pun kantongnya, negeri ini tak akan berubah.
Kecuali... kita berhenti berharap pada Doraemon. Dan mulai jadi sesuatu yang Doraemon tak bisa ciptakan: manusia yang bertanggung jawab.
Kalau begitu, mari tutup laci dan mulai kerja. Karena satu-satunya kantong ajaib yang benar-benar kita punya… adalah akal sehat dan kemauan. Tapi, itu pun kalau belum dimakan Giant. (*)
0 Komentar :
Belum ada komentar.