Matakanan.com - Zaman dulu, kami hanya butuh satu hal untuk masuk SMA negeri: NEM. Nilai Ebtanas Murni.
Tinggi? Masuk sekolah favorit. Rendah? Ya belajar lagi. Sederhana. Seperti beli gorengan: tunjuk, bayar, bawa pulang.
Sekarang? Masuk SMA negeri seperti ikut reality show gabungan antara Survivor, MasterChef, dan The Hunger Games, tapi semua pakai form online dan sinyal tidak pasti.
Dulu: Anak SD Paham, Anak TK Bisa Tebak
Tahun 1990-an sampai awal 2000-an, semua siswa paham: nilai menentukan sekolah.
Misal, SMA 1 butuh NEM minimal 42. Kalau kamu dapat 44, auto masuk. Tidak ada drama, tidak ada sistem error, dan yang penting: tidak perlu unggah file PDF ukuran maksimal 200KB pakai HP jadul.
Kalau kamu pintar, kamu bisa masuk sekolah mana saja. Bahkan lintas kecamatan, lintas kota—asal kamu punya nilai.
Sekarang: Kamu Harus Lulus dari Jalur Berliku
Sekarang... kamu mau masuk SMA negeri favorit? Coba ini:
- Bikin akun Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) online
- Verifikasi KK, NIK, dan koordinat rumah
- Tentukan jalur: zonasi, prestasi, afirmasi, mutasi, atau jalur percaya Tuhan dan refresh halaman
- Upload berkas: rapor 5 semester, KK, foto rumah tampak depan, KIP, SKTM, dan bukti bahwa kamu masih waras
- Tunggu pengumuman yang bisa berubah kapan saja seperti harga saham
Jalur zonasi/domisili? Kalau kamu tinggal 500 meter dari sekolah, tapi GPS kamu ke-detect 2 kilometer karena sinyal error—selamat tinggal.
Dulu: Nilai Besar = Peluang Besar
Sekarang: Lokasi Strategis + Admin Sekolah Cekatan = Harapan
Kita hidup di negara yang katanya mengedepankan prestasi. Tapi saat daftar SMA negeri, ranking kelas kalah oleh jarak rumah.
Dulu kamu bisa usaha keras 3 tahun dan hasilnya terasa. Sekarang kamu bisa juara umum tiga kali, tapi tetap tersingkir karena rumah kamu "tidak masuk kelurahan utama".
Dan jangan heran kalau ada yang rumahnya pindah mendadak, secepat saham gorengan.
Tiba-tiba punya KK baru dengan alamat “500 meter dari sekolah favorit.”
Ajaib? Bukan. Ini Indonesia.
Dulu: Ibu Bapak Cuma Ngantri
Sekarang: Harus Jadi Operator Sekolah
Dulu orang tua cuma datang, bawa berkas, duduk, dan pulang.
Sekarang? Orang tua harus jadi:
- Ahli PDF
- Spesialis upload
- Konsultan zonasi
- dan kadang juga jadi tembok ratapan digital anak-anak mereka yang stres ngadepin server down.
Nostalgia Itu Menyakitkan (Kalau Diingat di Tengah PPDB)
Kadang kami rindu zaman ketika nilai besar membuatmu bebas memilih sekolah.
Ketika anak-anak tidak harus punya sinyal bagus atau komputer rumah.
Ketika guru BK tidak sibuk jadi troubleshooter IT, dan kepala sekolah tidak disalahkan karena GPS.
Karena kini, masuk SMA bukan lagi tentang pintar atau semangat belajar.
Tapi soal tahan mental, sinyal kuat, dan taktik unggah file dalam waktu 8 detik sebelum sistem timeout.
Kalau sistem ini dipakai buat seleksi nabi, bisa jadi banyak nabi yang gagal masuk karena sinyal di padang pasir jelek dan akta lahir belum di-scan.
Maka dari itu, untuk para pejuang SMA negeri zaman sekarang: Kalian bukan kalah pintar. Kalian hanya sedang diuji di zaman yang memilih koordinat, bukan kualitas.
Semoga kelak kalian bisa reformasi sistem ini—karena saat ini, bahkan Doraemon pun pasti menyerah bantu Nobita masuk SMA lewat jalur zonasi. (*)
0 Komentar :
Belum ada komentar.