Matakanan.com - Pernyataan yang menyinggung pragmatisme politik masyarakat, seperti yang disampaikan oleh salah satu pasangan calon (paslon) yang mengakui selalu memberikan sesuatu dalam setiap kunjungan politik, mengundang perhatian dan tanggapan kritis dari berbagai pihak.
Dalam konteks Pilkada Garut 2024, ungkapan ini dianggap mencerminkan persoalan mendasar yang mengancam demokrasi: politik transaksional yang semakin mengakar.
Pengakuan bahwa masyarakat lebih terpengaruh oleh pemberian materi daripada karakter atau gagasan calon pemimpin bukan hanya cerminan realitas, tetapi juga bentuk pembenaran terhadap praktik politik uang yang terselubung.
Menormalisasi Pragmatisme?
Ahirudin Yunus, pengamat politik lokal, menilai pernyataan tersebut menunjukkan betapa pragmatisme politik masyarakat telah dijadikan alasan untuk melanggengkan politik transaksional.
“Mengakui bahwa masyarakat sulit berpikir rasional dan karenanya diberi 'sesuatu', justru membenarkan pola pikir yang menormalisasi politik uang. Padahal, tugas seorang pemimpin adalah mendidik masyarakat, bukan memanfaatkan kondisi mereka,” tegasnya.
Ahirudin juga mengkritik logika di balik narasi tersebut. "Kalau kita terus berpikir bahwa rasionalitas masyarakat mustahil dicapai, kapan kita akan mulai membangun demokrasi yang sehat? Politik adalah soal visi dan ide, bukan soal siapa yang membawa sesuatu dalam kunjungan," tambahnya.
Refleksi dari Perspektif Rakyat
Rawink Rantik, juru bicara Koalisi Rakyat Garut, menekankan bahwa sikap seperti ini justru memperburuk siklus ketergantungan masyarakat terhadap bantuan sesaat.
“Memang benar, kondisi masyarakat sulit. Tapi justru di situlah tantangan bagi seorang pemimpin. Apakah dia hanya akan memberikan ikan, atau mulai memberikan kail? Jika yang diberikan hanya kopi atau beras, itu bukan solusi, melainkan jebakan pragmatisme yang terus-menerus melemahkan demokrasi,” ungkap Rawink.
Ia juga mengingatkan bahwa praktik ini berpotensi memunculkan pemimpin yang tidak kompeten.
“Kalau pemimpin terpilih hanya karena memberikan sesuatu, bukan karena kualitas kepemimpinan, maka masyarakat akan menjadi korban dalam lima tahun ke depan,” tambahnya.
Demokrasi atau Transaksi?
Eldy Supriadi, Presiden Ruang Rakyat Garut, memberikan tanggapan serupa. Baginya, pernyataan ini tidak hanya menyedihkan, tetapi juga mencerminkan kegagalan dalam membangun masyarakat yang kritis dan mandiri.
“Demokrasi yang sehat membutuhkan rakyat yang berdaulat dalam menentukan pilihan. Jika kita terus memperkuat pola pikir pragmatis, maka demokrasi akan berubah menjadi transaksi,” katanya.
Eldy juga menyoroti dampak jangka panjang dari praktik ini. “Pemimpin yang terpilih melalui cara-cara seperti ini cenderung tidak memiliki beban moral untuk benar-benar melayani rakyat. Mereka akan lebih sibuk mengembalikan ‘modal politik’ yang mereka keluarkan,” tegasnya.
Ketiga tokoh ini sepakat bahwa cara untuk memutus siklus pragmatisme adalah dengan pendidikan politik yang masif dan konsisten. Ahirudin menekankan pentingnya pendekatan yang lebih berfokus pada ide dan solusi nyata.
“Daripada membawa kopi atau beras, lebih baik para calon pemimpin membawa gagasan dan rencana kerja yang dapat menginspirasi masyarakat untuk memilih dengan hati nurani,” katanya.
Rawink menambahkan bahwa transparansi dan keberanian untuk mengubah pendekatan kampanye adalah kunci.
“Jika semua calon bersikap jujur dan tidak membawa apa pun kecuali program dan ide, masyarakat akan belajar untuk memilih berdasarkan kualitas, bukan kuantitas pemberian,” ungkapnya.
Meskipun pragmatisme politik masih menjadi tantangan besar, optimisme tetap ada. Eldy Supriadi percaya bahwa perubahan bisa dimulai dari upaya kecil, seperti menolak politik uang dalam bentuk apa pun.
“Demokrasi bukan tentang siapa yang bisa memberi lebih banyak, tapi tentang siapa yang bisa membawa perubahan yang berarti,” katanya.
Dalam konteks Pilkada Garut 2024, isu ini menjadi pengingat bahwa demokrasi harus terus diperjuangkan.
Membenarkan praktik pragmatisme politik, apa pun alasannya, hanya akan mencederai kepercayaan masyarakat terhadap proses politik.
“Jika kita benar-benar peduli pada masa depan Garut, maka mari kita mulai dengan membangun demokrasi yang jujur, adil, dan berintegritas,” tutup Rawink. (*)
0 Komentar :
Belum ada komentar.