Sosial

Bendera One Piece di Mana-Mana: Simbol Perlawanan atau Pelarian?

Bendera One Piece di Mana-Mana: Simbol Perlawanan atau Pelarian?
Bendera one piece. (Sumber foto: internet/matakanan.com)

Matakanan.com - Beberapa waktu terakhir, media sosial diramaikan oleh fenomena pemasangan bendera bajak laut One Piece—si tengkorak lucu dengan topi jerami—di atap rumah, tiang, motor, bahkan di tempat yang sangat tidak lazim: truk sampah dan pos ronda.

Entah siapa yang memulai, namun efek viralnya menjalar cepat, seperti halnya cerita Luffy dan kru Topi Jerami yang tak pernah habis diceritakan dari generasi ke generasi.

Pertanyaannya sederhana: kenapa banyak warga Indonesia memasang bendera bajak laut?

Sebagian menganggapnya guyonan, ekspresi kekaguman terhadap anime legendaris yang sedang menuju klimaks. Tapi kalau kita tilik lebih dalam, fenomena ini menyimpan pesan sosial yang lebih dalam—dan ironisnya, sangat relevan dengan kondisi Indonesia hari ini.

Di semesta One Piece, bajak laut bukan sekadar pencuri lautan. Mereka adalah orang-orang yang menolak tunduk pada sistem dunia yang bobrok: Pemerintah Dunia yang korup, ketidakadilan kelas, dan monopoli kekuasaan.

Para bajak laut adalah antitesis dari kemapanan yang menindas. Dan Luffy? Ia bukan perompak jahat, tapi idealis gila yang tak pernah mau diperintah, kecuali oleh suara hatinya sendiri.

Lalu kita menengok ke realita Indonesia. Korupsi masih tumbuh subur meski lembaga antirasuah terus dipreteli. Kekuasaan makin terpusat, rakyat semakin kesulitan. Hukum tajam ke bawah dan sangat lentur ke atas.

Dalam kondisi seperti itu, tak heran jika banyak warga merasa lebih terwakili oleh kru bajak laut anime dibandingkan oleh wakil rakyat sesungguhnya.

Tapi mari jujur juga: tidak semua pemasang bendera Jolly Roger adalah aktivis atau pembaca politik. Banyak yang hanya ingin ikut tren, menumpang viral, atau merasa lebih keren saja.

Ini tidak salah. Dalam masyarakat yang penuh tekanan ekonomi, sosial, dan moral, bahkan memasang bendera bajak laut pun bisa menjadi bentuk coping mechanism.

Kita hidup di zaman ketika harga kebutuhan naik diam-diam, tapi hiburan dan ilusi kebebasan bisa didapatkan gratis di TikTok.

Maka menempel bendera Luffy bukan hanya tentang menyukai anime, tapi juga bagian dari pelarian kolektif. Karena di dunia nyata, menjadi nelayan saja tak mudah, apalagi jadi bajak laut.

Fenomena ini menyajikan ironi: bendera bajak laut fiksi lebih populer daripada bendera organisasi-organisasi sosial atau komunitas lokal.

Dalam masyarakat yang seharusnya digerakkan oleh nilai-nilai kolektif, kita malah lebih percaya pada kru Topi Jerami yang bahkan tidak pernah ada secara nyata.

Namun, dari sini juga kita bisa belajar: ketika masyarakat memilih simbol alternatif sebagai lambang kebanggaan, itu pertanda bahwa simbol resmi—entah pemerintah, partai, atau tokoh publik—mulai kehilangan maknanya.

Bendera Luffy berkibar bukan karena dia benar-benar ada, tapi karena dia dipercaya. Sementara banyak tokoh nyata justru kehilangan kepercayaan karena terlalu nyata mempermainkan rakyat.

Mungkin kita bisa menertawakan tren ini sebagai kelucuan anak muda. Tapi di balik tawa itu, ada sinyal yang sebaiknya tidak diabaikan: masyarakat Indonesia sedang haus akan kejujuran, keadilan, dan keberanian untuk melawan ketimpangan.

Dan jika satu-satunya simbol yang bisa mewakili itu hanyalah bendera bajak laut anime, maka yang perlu kita benahi bukan hanya tren… tapi sistem sosial dan politik yang gagal memberikan harapan. (*)

0 Komentar :

Belum ada komentar.